Selasa, 21 April 2009

Tanya Jawab Seputar Haji

Mengganti Nama

1. Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang
banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka mengganti
nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?


Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama yangburuk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan disebabkan usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnyaboleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka lantaran alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]

Berutang untuk Haji

2. Saya ingin sekali melaksanakan ibadah haji, tetapi tabungan saya tidak cukup untuk bayar ONH. Bolehkah saya meminjam untuk menutupi kekurangannya?

Jawab :Ibadah haji diwajibkan kepada orang-orang yang mampu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut, “…mengerjakanhai adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran 3: 97)
Ada empat macam kemampuan yang harus dimiliki yaitu Quwwah Maaliyyah, Quwwah Jasadiyyah, Quwwah Ruuhiyyah, dan Quwwah Ilmiyyah.
Quwwah Maaliyyah artinya kekuatan harta. Ibadah haji membutuhkan dana yang relatif besar karena tanah suci Mekah relatif jauh dari negeri kita. Paling tidak, dibutuhkan sepuluh jam dengan pesawat Air Bus untuk bisa sampai ke sana. Kita butuh biaya transportasi, biaya hidup di sana, dan dana untuk keluarga yang ditunggalkan. Ini jelas membutuhkan Quwwwah Maaliyyah atau kekuatan harta.
Quwwah Jasadiyyah artinya kekuatan jasad. Ibadah haji membutuhkan kekuatan fisik, karena hampir seluruh pelaksanaannya melibatkan kekuatan fisik, misalnya tawaf, yaitu berjalan mengitari Kabah sanbil berdoa, Sa’i yakni berjalan antara bukit Shafa dan Marwah, Jumroh yakni melempar jamarat. Semuanya melibatkan kekuatan fisik. Itu sebabnya haji membutuhkan Quwwah Jasadiyyah.
Quwwah Ruuhiyyah artinya kekuatan mental atau rohani. Banyak orang yang secara harta dan fisik sudah kuat atau mampu, tapi kalau mentalnya belum siap? Di sinilah dibutuhkankekuatan mental alias Quwwah Ruhiyyah.
Quwwah Ilmiyyah artinya kekuatan ilmu. Haji perlu bekal ilmu yang memadai terutama masalah manasik atau pelaksanaan haji yang benar. Betapa banyak umat Islam yang melaksanakan haji namun tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang tata cara haji, sehingga banyak melakukan kekeliruan. Sayang apabila kita sudah mengeluarkan harta yang banyak, meninggalkan anak-anak, tapi ternyata hajinya banyak yang keliru. Di sinilah pentinyanya Quwwah Ilmiyyah alias kekuatan ilmu dan pemahaman.
Adapun yang Anda tanyakan adalah masalah Quwwah Maaliyyah atau kekuatan harta. Bolehkah kita berhaji dengan cara berutang? Secara prinsip, berutang untuk haji tidak dilarang, selama kita yakin bisa membayar utang itu seandainya terjadi apa-apa saat melaksanakan ibadah haji. Misalnya sampai kita meninggal di tanah suci, kita yakin utang-utang itu bisa dilunasi dan tidak membebani keluarga yang ditinggal.
Tapi, jika Anda tidak yakin akan ada yang membayarkan utang Anda, sekiranya Anda meninggal di sana, atau utang tersebut bisa menjadi beban keluarga yang ditinggalkan, berutang seperti ini tidaklah dibenarkan. Lebih baik Anda menangguhkan pelaksanaan haji sampai benar-benar mampu. Semoga Allah memberikan rezeki yang halal dan luas kepada Anda, sehingga bisa segera melaksanakan ibadah haji tanpa berutang.

Amin. Wallahu A’lam.

HAJI MABRUR


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur
dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga”
[HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]

Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.

Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer,
kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.

“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan
penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]

Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai
dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]

Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang
baik” [HR Muslim : 1015]

Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan

“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak
boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan
berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]

Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka
membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid
(22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di
dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif
Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih
Al-Fauzan : 12-13]